Selasa, 10 Mei 2016

Menilik sastra yang tak lagi sekedar ‘Buku’




Sapardi Joko Damono, seorang sastrawan dengan nama besar di dirinya. Entah berapa banyak tulisannya yang menjadi perbincangan di lingkaran-lingkaran diskusi sastra. Sang Profesor yang mendedikasikan hidupnya untuk berbicara, tidak asal berbicara. Tentunya dengan etika. Hingga usianya yang tak lagi bisa dibilang muda, dia tetap terlihat muda dengan buah pikirannya yang segar dan tertata mengikuti zaman yang mungkin banyak orang menganggap zaman yang sudah gila.

Satu hal menarik yang menjerat perhatian adalah pendapatnya bahwa sekarang ini sastra bukan hanya tentang buku. Banyak orang menulis sastra di internet dan enggan menuangkannya di sebuah wadah yang disebut buku. Sangat menarik. Saat sebagian manusia yang mengagungkan dirinya dengan buku dan menobatkan dirinya sebagai revolusioner. Yang lebih mengerikan adalah ketika,saat,diwaktu orang ‘mengeraskan’ kepalanya bersama dengan opininya yang masih sekedar opini tentang sastra  dan bukan persetujuan bersama. Sastra tidak kolot, dan sastra itu bergerak bersama pemikiran manusia. Hendaknya itu yang bisa ditangkap tentang pendapat pak Sapardi mengenai satu hal yang selalu menjadi perbincangan,Sastra.

Dunia viral, masyarakat viral dan latah. Demikian gambaran dunia yang bisa kita lihat sekarang. Internet begitu mempesona dengan warna-warninya. Orang mneyebarkan ideologinya tanpa batasan lagi, tak seperti zaman orde baru. Sikap kita yang termakan dengan keperkasaan internet dan dunia maya mesinya harus kita kendalikan. Sekali lagi kita hidup di dunia nyata yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Gunakan hak kita dengan bijaksana, jangan sesekali kita sengaja mengganggu hak orang lain. Seperti itulah manusia selayaknya hidup, seperti pak Sapardi yang kalau Gus Mus mengatakannya bukan orang pintar baru

Kalaupun ada kata yang tepat untuk merepresentasikan apa yang saya pikirkan mungkin kalimat ini yang paling tepat ,”Bahagia untuk berpikir, bahagia untuk beropini, dan bahagia untuk tidak membuat orang lain tidak bahagia, hak orang lain tidak terlanggar,dan tentulah semuanya akan menerima dengan bahagia.”


2 komentar:

  1. Penggunaan hak asasi di dunia maya pun butuh kontrol yang dinamakan norma. Namun semakin luas dan menggemanya hak asasi, norma menjadi samar karena semuanya dipaksakan pada kebebasan masing-masing individu. Ironi sekali.

    Anyway, blog nya keren. Kembangkan blog serta isinya agar jadi identitas diri seorang dek Rudi. Semangat yaaa :)

    BalasHapus
  2. Yah...dan disaat norma tak lagi sekuat itu maka yang ada hanyalah perang propaganda.

    Terimakasih mba Annisa sudah berkunjung. Semoga isi isinya lebih baik terus. Butuh koreksi tentunya. :)

    BalasHapus