Sapardi Joko Damono, seorang
sastrawan dengan nama besar di dirinya. Entah berapa banyak tulisannya yang
menjadi perbincangan di lingkaran-lingkaran diskusi sastra. Sang Profesor yang
mendedikasikan hidupnya untuk berbicara, tidak asal berbicara. Tentunya dengan
etika. Hingga usianya yang tak lagi bisa dibilang muda, dia tetap terlihat muda
dengan buah pikirannya yang segar dan tertata mengikuti zaman yang mungkin
banyak orang menganggap zaman yang sudah gila.
Satu hal menarik yang menjerat
perhatian adalah pendapatnya bahwa sekarang ini sastra bukan hanya tentang
buku. Banyak orang menulis sastra di internet dan enggan menuangkannya di
sebuah wadah yang disebut buku. Sangat menarik. Saat sebagian manusia yang mengagungkan
dirinya dengan buku dan menobatkan dirinya sebagai revolusioner. Yang lebih
mengerikan adalah ketika,saat,diwaktu orang ‘mengeraskan’ kepalanya bersama
dengan opininya yang masih sekedar opini tentang sastra dan bukan persetujuan bersama. Sastra tidak
kolot, dan sastra itu bergerak bersama pemikiran manusia. Hendaknya itu yang
bisa ditangkap tentang pendapat pak Sapardi mengenai satu hal yang selalu
menjadi perbincangan,Sastra.
Dunia viral, masyarakat viral dan
latah. Demikian gambaran dunia yang bisa kita lihat sekarang. Internet begitu
mempesona dengan warna-warninya. Orang mneyebarkan ideologinya tanpa batasan
lagi, tak seperti zaman orde baru. Sikap kita yang termakan dengan keperkasaan
internet dan dunia maya mesinya harus kita kendalikan. Sekali lagi kita hidup
di dunia nyata yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Gunakan hak kita
dengan bijaksana, jangan sesekali kita sengaja mengganggu hak orang lain.
Seperti itulah manusia selayaknya hidup, seperti pak Sapardi yang kalau Gus Mus mengatakannya bukan orang pintar baru.
Kalaupun ada kata yang tepat untuk
merepresentasikan apa yang saya pikirkan mungkin kalimat ini yang paling tepat
,”Bahagia untuk berpikir, bahagia untuk beropini, dan bahagia untuk tidak
membuat orang lain tidak bahagia, hak orang lain tidak terlanggar,dan tentulah
semuanya akan menerima dengan bahagia.”
Penggunaan hak asasi di dunia maya pun butuh kontrol yang dinamakan norma. Namun semakin luas dan menggemanya hak asasi, norma menjadi samar karena semuanya dipaksakan pada kebebasan masing-masing individu. Ironi sekali.
BalasHapusAnyway, blog nya keren. Kembangkan blog serta isinya agar jadi identitas diri seorang dek Rudi. Semangat yaaa :)
Yah...dan disaat norma tak lagi sekuat itu maka yang ada hanyalah perang propaganda.
BalasHapusTerimakasih mba Annisa sudah berkunjung. Semoga isi isinya lebih baik terus. Butuh koreksi tentunya. :)